Merawat Nalar Sejuk di Tengah Arus Kebencian: Menakar Deradikalisasi dan Rekonsiliasi Sosial di Indonesia
Opini kritis tentang tantangan deradikalisasi dan rekonsiliasi sosial di Indonesia. Membaca kasus Umar Patek, narasi damai, dan pentingnya merawat nalar kritis di tengah derasnya ujaran kebencian.

Di tengah derasnya arus kebencian di media sosial, konten provokatif yang kian menumpuk, serta narasi intoleransi yang membanjiri ruang publik, muncul satu kisah yang mengusik: Umar Patek—mantan terpidana kasus Bom Bali 2002—kini hidup sebagai barista dan membuka kedai kopi. Kisah ini sontak mencuat jadi headline dan memantik perdebatan publik.
Sebagian mengangkatnya sebagai bukti keberhasilan deradikalisasi. Sebagian lain justru menaruh curiga: apakah kita terlalu mudah memaafkan? Apakah cukup dengan menjadi "baik" secara kasat mata, seseorang yang pernah menanam benih teror bisa dikatakan telah berubah?
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sekadar ekspresi kebingungan. Ia adalah cermin dari kegelisahan kolektif: tentang apa arti perubahan, dan seberapa dalam kita memahami akar dari radikalisme itu sendiri.
🔥 Terorisme Bukan Datang dari Ruang Hampa
Terorisme bukan sekadar hasil dari ideologi ekstrem. Ia tumbuh dari kegagalan sistem sosial-politik menyediakan rasa keadilan, keteladanan, dan masa depan. Ia adalah residu dari frustrasi, keterasingan, dan kemiskinan nalar kritis.
Menurut Tito Karnavian dalam Indonesian Top Secret (2014), penanganan terorisme tak bisa semata-mata dilakukan lewat senjata dan hukum. Tito memformulasikan pendekatan multidimensi: kombinasi pendekatan keras dan lunak—melibatkan pemahaman psikologis, kultural, hingga teologis terhadap pelaku.
Mantan Kepala BNPT, Komjen Boy Rafli Amar, mendorong kontra-narasi lebih partisipatif. Ia melibatkan pemuka agama, tokoh muda, guru, hingga eks napiter untuk menyuarakan narasi damai dan menyaingi propaganda ekstrem. Sebuah upaya membumikan deradikalisasi agar tidak elitis.
🤝 Deradikalisasi: Antara Harapan dan Realita
Namun yang menjadi soal: apakah deradikalisasi telah benar-benar menyentuh akar persoalan?
Kasus Umar Patek mungkin bisa menjadi simbol harapan bahwa manusia bisa berubah. Tapi ia juga berisiko menjadi "etalase negara" untuk menutupi kompleksitas persoalan yang belum tuntas. Banyak eks napiter yang tetap terisolasi, hidup dalam stigmatisasi, dipantau ketat, tanpa pendampingan psikologis, dan kesulitan ekonomi.
Jika reintegrasi sosial pasca-deradikalisasi hanya menjadi slogan tanpa dukungan ekosistem, maka eks napiter justru berisiko mengalami relapse ideologis—kembali ke lingkaran kekerasan karena merasa dikhianati oleh sistem.
Laporan BNPT (2023) mencatat masih ada eks napiter yang kembali aktif dalam jaringan radikal. Ini menunjukkan bahwa deradikalisasi bukan sekadar soal pelatihan singkat atau deklarasi tobat. Ia butuh gerakan sosial jangka panjang, melibatkan negara, tokoh agama, LSM, komunitas, dan sektor swasta dalam membangun ruang penerimaan yang manusiawi.
📚 Intoleransi: Bukan Hanya Masalah Keamanan, Tapi Budaya
Intoleransi hari ini bukan muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dalam iklim kemiskinan literasi, polarisasi politik, dan pembiaran terhadap ujaran kebencian.
Survei PPIM UIN Jakarta (2020) menunjukkan bahwa sebagian besar guru dan mahasiswa punya kecenderungan intoleran terhadap minoritas. Sekolah dan kampus yang seharusnya menjadi ruang kritis justru menjadi lahan subur untuk ideologi eksklusif. Media sosial, dengan algoritma viralitasnya, ikut menyiramnya dengan amplifikasi kebencian.
Celakanya, para elit politik kerap mempermainkan isu identitas untuk keuntungan elektoral. Agama dijadikan instrumen kekuasaan, bukan instrumen pembebasan.
🛡️ Perlawanan Butuh Nalar, Bukan Hanya Senjata
Melawan ekstremisme tidak cukup dengan senjata atau UU. Ia harus dilakukan lewat strategi budaya dan pendidikan jangka panjang. Pendidikan nalar kritis sejak dini menjadi pondasi. Anak-anak harus diajarkan meragukan, bertanya, berdialog—bukan hanya menurut dan menelan.
Guru, ustaz, dan pemuka agama perlu dilatih sebagai agen moderasi, bukan alat polarisasi. Pemerintah daerah mesti berani meninjau ulang materi dakwah dan pendidikan yang menyuburkan kebencian. Media harus menciptakan ruang publik yang sehat, tidak memberi panggung bagi suara kebencian demi rating.
Dan yang paling penting, keluarga—unit terkecil masyarakat—perlu menjadi tempat pertama anak-anak belajar tentang empati, bukan permusuhan. Karena benih radikalisme kadang tumbuh bukan dari pesantren ekstrem, tapi dari percakapan di ruang makan dan grup WhatsApp keluarga.
✨ Kita Butuh Lebih dari Sebuah Simbol
Kita boleh senang melihat Umar Patek berubah. Tapi kita tidak boleh puas hanya dengan simbol. Perubahan sejati adalah ketika sistem yang melahirkan radikalisme juga ikut dibenahi: dari cara kita mendidik, berbicara, memilih pemimpin, hingga cara kita merespons perbedaan.
Kalau damai bisa dimulai dari secangkir kopi, semoga kita tidak berhenti pada secangkirnya. Tapi terus menanam benih damai dari rumah, sekolah, layar gawai, hingga ruang parlemen.
DAFTAR PUSTAKA
- Karnavian, M. T. (2014). Indonesian top secret: Membongkar aktivitas terorisme di Indonesia. Jakarta: Kompas.
- Azis, I. (2021). Paradigma penanggulangan terorisme berbasis pendekatan humanis dan integratif. Jakarta: Lemdiklat Polri.
- Amar, B. R. (2022). Strategi komunikasi kontra narasi terorisme di Indonesia. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Press.
- Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta. (2020). Survei nasional potensi intoleransi dan radikalisme di sekolah dan kampus. Jakarta: PPIM UIN.
- Wahid Foundation. (2018). Survei nasional: Sikap keberagamaan dan potensi intoleransi sosial keagamaan di kalangan Muslim Indonesia. Jakarta: Wahid Foundation.
- Setara Institute. (2022). Indeks Kota Toleran 2022. Jakarta: Setara Institute for Democracy and Peace.
- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (2023). Laporan tahunan BNPT: Penanggulangan terorisme dan radikalisme. Jakarta: BNPT RI.
- International Crisis Group. (2016). Indonesia’s Lamongan network: How East Java, not Bali, became the epicentre of jihad (Asia Report No. 288). Brussels: ICG.
- Yusof, M., & Mohamad, M. (2019). Radicalization and counter-radicalization in Southeast Asia: The case of Indonesia. Journal of Policing, Intelligence and Counter Terrorism, 14(1), 36–52.
🖊️ Penulis: Teddy Rachesna
📍 Editor: Redaksi in:REALITA
What's Your Reaction?






