Sistem Menjanjikan, Tapi Tak Menghidupi - Ketika Operator Sekolah Menjadi Bom Waktu di Tengah Birokrasi yang Tumpul
Seorang operator sekolah di Sumba Barat Daya, NTT, menikam pejabat Disdikpora karena frustrasi akibat gaji mandek dan dana BOS tak kunjung cair. Insiden ini menggugah publik soal kesejahteraan tenaga pendidik honorer.

Ketika Operator Sekolah Menjadi Bom Waktu di Tengah Birokrasi yang Tumpul
OPINI - Redaksi in:REALITA
Apa yang lebih menyakitkan dari kerja keras yang tak pernah dihargai?
Mungkin jawabannya bisa kita temukan di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, saat seorang operator sekolah honorer — Emanuel Karsianto Sukardana — akhirnya tak sanggup lagi menahan amarah yang telah lama dibiarkan mendidih.
Ia menikam seorang pejabat Dinas Pendidikan.
Bukan karena dendam pribadi. Tapi karena rasa keadilan yang terus-menerus ditunda.
Ini Bukan Hanya Soal Tikaman. Ini Soal Sistem yang Gagal.
Enam bulan tak digaji. Dana BOS yang seharusnya menjadi tulang punggung operasional sekolah tak kunjung cair. Sementara pemerintah gembar-gembor dengan program digitalisasi, pelatihan kompetensi, dan transformasi kurikulum. Tapi siapa yang peduli pada operator sekolah yang tiap hari berjibaku dengan Dapodik dan tumpukan administrasi, tanpa upah yang manusiawi?
.. Negara diam.
.. Birokrasi beku.
.. Dan akhirnya, emosi lah yang bicara.
Negara Sibuk Menghitung Angka, Tapi Lupa Menghitung Luka
Kita sering bicara soal “kesejahteraan guru” dan “anggaran pendidikan 20% APBN.” Tapi tak pernah benar-benar memperhitungkan nasib tenaga kontrak, operator sekolah, petugas TU, penjaga malam—mereka yang disebut ‘non-guru’, namun menopang hidupnya sekolah.
.. Mereka ada, tapi tak dianggap.
.. Mereka kerja, tapi tak digaji.
.. Mereka mengabdi, tapi tak diberi jaminan.
Dan ketika akhirnya satu dari mereka meledak, semua berpura-pura kaget.
Bukan Kriminal, Tapi Korban
Apakah Emanuel bersalah? Ya. Kekerasan tak bisa dibenarkan. Tapi apakah ia satu-satunya yang harus disalahkan?

❝ Kita sibuk menilai tikamannya, tapi tak pernah mau melihat apa yang telah lama menikamnya terlebih dahulu.”

❝ Bukan Emanuel yang gagal. Sistem yang gagal melindunginya.”

❝ Kalau gaji saja tak bisa dibayarkan tepat waktu, lalu di mana hati nurani birokrasi?”

❝ Keadilan tidak hanya di pengadilan. Keadilan harusnya sudah ada di meja gaji bulanan.”
Kemarahan publik membuktikan satu hal: masyarakat sadar bahwa sistem sedang tidak baik-baik saja.
Ini Alarm, Bukan Anomali
Kita bisa saja mengecam tindakan Emanuel. Tapi jika itu satu-satunya cara agar kita mau membuka mata, maka kita lah yang lebih berdosa.
Masa depan pendidikan tak akan selamat hanya dengan kebijakan indah di atas kertas.
Ia butuh rasa kemanusiaan. Butuh keberpihakan.
Selama ini, operator sekolah seperti Emanuel hanyalah data tambahan di kolom excel, bukan manusia yang punya keluarga, utang, lapar, dan harga diri.
Mengapa yang Diperjuangkan Selalu Ditinggalkan?
Kita gemar memajang foto-foto Menteri Pendidikan berdiri gagah di forum internasional.
Tapi kita lupa bertanya, bagaimana nasib tenaga pendidik kontrak di pelosok seperti Sumba Barat Daya?
Apakah benar negeri ini menjadikan pendidikan sebagai prioritas?
Jika iya, mengapa yang menghidupi sistem justru dibiarkan hidup seadanya?
Akhirnya, yang Menikam Juga Telah Lama Tertikam
Kasus Emanuel adalah tragedi. Tapi ia juga cermin.
Bahwa negara telah terlalu lama menunda perubahan yang hakiki.
Kini saatnya kita berhenti menutup luka dengan jargon.
Karena ketika sistem tak mampu menghidupi, maka yang kelaparan akan mencari caranya sendiri untuk bersuara — bahkan dengan cara paling kelam.
📍 Opini ini merupakan suara redaksi in:REALITA sebagai bentuk keprihatinan dan solidaritas terhadap para tenaga pendidik dan operator honorer yang selama ini dipinggirkan oleh sistem pendidikan yang timpang.
What's Your Reaction?






