Inovasi Energi dari Sampah Plastik: Petasol, Bahan Bakar Alternatif Karya Anak Bangsa

BANJARNEGARA – Sampah kantong plastik selama ini dianggap tidak memiliki nilai ekonomi. Namun, siapa sangka material yang kerap memenuhi tempat pembuangan akhir itu justru bisa diolah menjadi bahan bakar minyak berkualitas, yang diberi nama Petasol.
Inovasi ini lahir dari kegelisahan sekelompok warga Banjarnegara terhadap limbah plastik yang semakin menumpuk. Di bawah naungan Bank Sampah Banjarnegara (BSB), Endi Rudianto dan Budi Trisno Aji mengembangkan teknologi pengolahan limbah berbasis pirolisis cepat atau fast pyrolysis yang kemudian mereka beri nama Faspol 5.0.
Teknologi ini mampu mengubah kantong kresek bekas menjadi bahan bakar setara solar dengan proses yang efisien. Sampah plastik dibakar dalam mesin pirolisis hingga menghasilkan cairan dan gas. Cairan ini kemudian dimurnikan menggunakan katalis buatan mereka hingga berubah menjadi Petasol.
Menurut Endi, dari 200 kilogram bahan baku plastik, mesin yang digunakan oleh BSB mampu memproduksi hingga 180 liter Petasol. Meski hasilnya tidak selalu sama, tergantung jenis dan kebersihan sampah, rata-rata konversinya bisa mencapai 70 sampai 95 persen.
Petasol kemudian dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk berbagai kebutuhan seperti mesin pertanian dan kendaraan bermotor. Kehadirannya membantu menekan pengeluaran masyarakat, terutama di wilayah pedesaan.
Tak hanya itu, BSB juga memproduksi mesin pembakar plastik skala kecil yang kini telah digunakan di lebih dari 50 lokasi di seluruh Indonesia. Setiap pengiriman mesin selalu diiringi dengan pelatihan operator, agar teknologi Faspol 5.0 dapat dioperasikan sesuai standar.
Hasil dari pengolahan Petasol telah diuji di berbagai laboratorium, termasuk BRIN, Lemigas, dan Universitas Diponegoro. Hasilnya, Petasol dinyatakan memenuhi standar bahan bakar setara solar B0. Merek Petasol sendiri telah memiliki hak cipta, sedangkan teknologi Faspol 5.0 telah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.
Tri Martini, peneliti dari BRIN, menjelaskan bahwa biaya produksi Petasol hanya sekitar Rp6.160 per liter, sementara harga jual yang direkomendasikan sebesar Rp9.700. Dengan margin keuntungan mencapai Rp3.540 per liter, program ini dinilai sangat layak secara finansial. Menurut perhitungannya, investasi mesin kapasitas 50–100 liter dapat balik modal dalam waktu sekitar satu setengah tahun.
Lebih dari keuntungan ekonomi, teknologi ini juga membawa manfaat strategis. Dengan pengembangan yang berkelanjutan, Petasol dapat mendukung kemandirian energi di desa, membantu petani dan nelayan memenuhi kebutuhan bahan bakar tanpa bergantung sepenuhnya pada pasokan luar.
Tri menegaskan bahwa upaya ini sejalan dengan cita-cita kemandirian pangan dan energi nasional. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang murah dan melimpah, seperti sampah plastik, masyarakat pedesaan kini memiliki peluang untuk mandiri secara energi.
Petasol adalah bukti bahwa dari limbah yang tampak tak berguna, bisa muncul solusi besar untuk tantangan energi masa kini. Sebuah langkah kecil dari Banjarnegara, namun potensinya melintasi batas wilayah dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. (**)
Sumber: nationalgeographic.grid.id
What's Your Reaction?






