Kantong Rakyat Menjerit: Kita Diberi Data, Tapi Tidak Diberi Nafas
Kondisi ekonomi Indonesia saat ini menekan kehidupan masyarakat. Harga kebutuhan pokok naik, tabungan menipis, dan rakyat terpaksa ngutang online. Artikel ini mengupas realita di balik data makro yang sering dianggap stabil.

Ekonomi Kita Tak Lagi Wajar: Ketika Kantong Rakyat Menjerit, Data Tinggal Angka
OPINI - Redaksi in:REALITA
Di sebuah warung kecil pinggir Kotabumi, seorang ibu paruh baya menghitung uang receh sambil berbisik pelan, “Dulu Rp50 ribu bisa bawa pulang beras, telur, dan minyak. Sekarang, paling cukup dua saja.”
Cerita itu bukan satu-satunya. Dari pasar tradisional hingga dompet digital, dari karyawan ritel hingga buruh tani, suara yang sama terdengar: kita sedang bertahan hidup, bukan lagi menjalani hidup. Namun anehnya, pemerintah tetap yakin ekonomi kita “baik-baik saja.”
K ehidupan yang Tak Lagi Biasa. Apa yang rakyat alami hari ini bukan sekadar “wajar di tengah tantangan global.” Ini tanda-tanda ekonomi menekan dari bawah. Harga sembako naik, tapi upah tetap. Tabungan habis untuk biaya hidup harian. Pinjaman online bukan gaya hidup, tapi jalan darurat.
Di layar data resmi, inflasi memang terkendali. Namun, coba tanyakan pada pedagang sayur di pasar, sopir ojek daring, atau ibu rumah tangga yang belanja harian. Rasa di kantong lebih nyata daripada angka di grafik.
Ngirit Bukan Pilihan, Tapi Paksaan
Hari ini, gaya hidup hemat bukan kesadaran, melainkan keterpaksaan. Masyarakat Indonesia melakukan down-trading:
➡️ dari belanja merek ke generik
➡️ dari restoran ke warteg
➡️ dari belanja bulanan ke harian
Diskon bukan lagi bonus, tapi penentu keputusan. Bahkan orang dengan gaji tetap hidup dari promo ke promo, voucher ke voucher. Penjualan kendaraan, rumah, bahkan cicilan elektronik melambat tajam. Bukan karena semua sudah punya, tapi karena uang habis untuk bertahan. Barang sekunder dan tersier kini terasa seperti kemewahan yang dulu dianggap biasa.
Ini Bukan Sekadar Gejala, Ini Alarm
Ketika rakyat berhenti belanja, mesin utama ekonomi ikut berhenti.
Jika mesin itu macet terlalu lama, konsekuensinya bukan lagi inflasi, tapi resesi.
Dan kita sudah melihat tanda-tanda itu:
- 👞 Industri alas kaki dan tekstil melakukan PHK massal
- 🏪 UMKM sepi karena perputaran uang melambat
- 💸 Investor menahan modal, melihat pasar domestik yang tak lagi menjanjikan
Sementara itu, ketimpangan makin terasa. Mereka yang di atas—punya tabungan besar, aset dolar, dan koneksi global—tak banyak terganggu. Tapi di bawah, rakyat kehilangan daya, kehilangan pilihan, perlahan kehilangan harapan.
Refleksi: Data Tak Pernah Mewakili Rasa
Kami tidak menolak optimisme. Namun optimisme yang tak menyentuh realitas hanya akan menjadi bahan kampanye.
Yang dibutuhkan rakyat hari ini adalah kejujuran narasi dan keberpihakan kebijakan.
- Tak cukup bicara “stabilitas ekonomi” jika rakyat tak mampu beli minyak goreng.
- Tak cukup pamer pertumbuhan PDB jika jutaan orang hidup tergantung pada pinjaman berbunga tinggi.
Angka-angka di laporan mungkin terlihat kuat. Tapi rasa di bawahnya—itu yang sedang menjerit.
Keadilan Sosial Tak Pernah Datang dari Grafik
Jika negara masih ingin mendengar, maka dengarlah suara kantong rakyat yang terus mengecil.
Jika negara masih ingin hadir, maka hadirilah pasar, dapur, dan ruang tamu rakyat yang kini sunyi—karena bahkan televisi pun sudah disekolahkan.
Ekonomi yang baik bukan yang terlihat bagus di laporan, tapi yang terasa cukup di rumah-rumah kita.
Karena pada akhirnya, grafik tak akan menolong rakyat.
Hanya empati dan kebijakanlah yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari krisis yang lebih dalam.
🖊️ Penulis: Redaksi in:REALITA
📍 Editor: Redaksi in:REALITA
What's Your Reaction?






